Manusia-Manusia Gedung Lengkung



“Hei, bangun sayang… sudah setengah tujuh, sebentar lagi alarm mu berbunyi.”

2 tahun Tuhan mengizinkanku. dipercontohkan tingkah laku manusia melalui proyeksi astral padaku. Hadir didepanku The Ark Project impian Benjamin awal itu. Berwujud sebuah gedung melengkung, dimana beberapa manusia tampak berbinar dari jauh. Cukup lengkap didalamnya terdapat manusia-manusia bergerak ditempat, seperti kios pada realita. terdapat manusia-manusia mondar-mandir memandang keatas-kebawah seperti mencari sesuatu. Ada lagi manusia yang hanyaa bergumam dan sesekali mendesah lelah tepat ditengah ruang. Belum lagi manusia-manusia yang saling memandangi dengan blak-blakan, mendekati yang dipandang hingga berjarak seruas jari tanpa proses ba-bi-bu. Beberapa melontarkan ujaran-ujaran pedas sambil menangis. Dan beberapa hitam-legam terlarut dalam kegelapannya sendiri.

Ketika perlahan kudekati mereka-mereka itu, selintas kulihat disudut mata mereka ada air mata yang tak sempat terseka. Masing-masing dari mereka barusaja menangis. Mungkin hidupnya tak seindah yang dia kira. Mereka kira, maksudku.

Diujung utara kulihat, mereka memendam permasalahan berat yang makin ditumpuk. Masalah sudah cukup pelik buatku, entah kenapa mereka gemar sekali menimbunnya untuk diinikmati sendiri. Tertawa mereka kosong dan mengada-ada. Kelakuannya bak ayunan berporos satu, nyaris tak tentu arah pendulumnya tapi masih terbaca polanya. Matanya, matanya memancarkan sejarah masalalunya:

Dia yang dulu berangkat dari keluarga yang bahagia, membahagiakan dirinya maksudku. Kemudian bertemu kenyataan bahwa dunia tak leih baik dari kamar mandinya sendiri. Dari kekecewaan itu beranjak dia memusuhi dunia. Hingga jatuh dia tersandung apa yang dinamakan kasih. Tapi kiranya kasih bukan tak terbatas, kasih tak selamanya memenuhi inginnya. Runtuh dia walau sbentar, tetapi marahnya berkobar melahap sekitarnya yang berharga.

Tak jauh dari dia, sarat akan aura kasih pula. Dia yang selama hidupnya Berjaya sesungguhnya tak lain dari anak kecil yang kesepian. Meracau tak tentu arah memanggil-manggil siapa saja yang mau jadi temannya. Kentara saja selalu kenyataan tak sesuai harapan manusia. Tak juga dia menerima manusia, karena tentu saja tak sesuai kriterianya. Dia-dia itu ingin punya yang namanya teman, tapi yang datang tertolak karna ternyata cacat dimatanya.

Disudut timur tampak bagiku dia yang mendekati sempurna, sempurna dalam terminologinya sendiri maksudku. Ribut dia mencari-cari kesalahannya sendiri, tak ingin ada stitik saja noda di pakaiannya. Itu bagus, cukup bagus bagiku. Tapi tak lebih bagus dari itik yang merapikan bulunya terus agar tak tenggelam ketika berenang. Ketika semua rapi, telaga sudah mengering.

Di sana ada lagi dia-dia yang hidup dalam tempurung, tempurung berdinding kaca yang memantulkan bayangan dirinya. Berbagai rupa bayangan itu hingga tak ada dilihat hal lain selain dirinya. Semua kata mengenai dirinya dan darinyalah semua kata menuju pada dirinya. Otaknya tumpul ditumpulkan oleh ke-aku-annya. Sejenak kupandang matanya, bibirnya menyungging kebawah, memandang remeh semua hal diluar dirinya. Tak disadari olehnya Nampak padaku ketidak-laku-annya pada masa lalu. Membuatnya menemukan urgensi agar ada yang melihat dirinya, minimal dirinya sendiri.

Di sayap kiri gedung itu manusia-manusia jalan ditempat. Pikirnya hal itu adalah usaha. Kata orang “sia-sia” tapi tak masuk otaknya. Tetap dilakukan hal yang sama. Seakan hidupnya tak pernah mempelajari sesuatu. Sesuatu yang baru. Seketika lelah dia-dia itu, maka mulai merunduk, nyaris bersujud. Gelisah dia-dia itu pada tiap konsep yang dipercayai. Melakukan refleksi diri dengan cara: jalan ditempat.

Yang paling mengusik pandanganku adalah dia-dia yang maju menerjang melampaui zona nyaman orang lain. Mendekatkan diri pada objeknya secara langsung dan terang-terangan, dengan harapan objeknya akan menyadari keberadaannya. “Bukan kah itu hal yang cukup bodoh?” ketika pertanyaan itu kusampaikan pada dia-dia itu, marah dan meledak sejadi-jadinya. Segala beban mendadak ditumpahkan padaku dalam sekali aksi. Mereka katakana aku merusak rencana. Rencana yang kiranya sempurna bagi dia-dia itu tak lain hanya angan-angan gombal. Karna rencana matang selayaknya terpaut dengan resiko yang nyata.Ha itu tak terpikirkan rupanya. Atau terpikirkan namun dilupakan.

Masih ada manusia-manusia yang berlarian gembira mengitari semua manusia-manusia lain. Oh, ternyata hanya berlari tak tentu arah tujuan saja. Sebenarnya tak tau dia-dia itu apa yang kiranya dia-dia itu lakukan disini. Mungkin daripada diam saja lebih baik berlarian supaya terlihat berkeringat upaya. Tak apa, sungguh tak apa. Hanya saja kenapa? Kenapa tak sekalian belajar dari manusia-manusia lain yang kau kelilingi itu? Hei!

“heiii… banguun…”

Seketika pikiranku kembali Bheta.

“sudah dua jam tidur masih kurang juga?”

Ah, kiranya kau tak tau sudah kulewati dua tahun tadi.

Prochnost.

Comments

Popular Posts